Revolusi Bagian 2

Mencari ketenangan

Mei 2024

Setelah kepergian Windzae, Dika seakan kehilangan separuh dari dirinya. Waktu berjalan seakan melambat dari biasanya. Kepalanya sangat penuh, otak dan hatinya tidak bisa sinkron. Otak menyuruhnya untuk lanjut mengerjakan skripsinya. Namun, hati bersikeras bahwa hubungannya dengan Windzae tidak seharusnya berakhir dan masih bisa diperbaiki. Pasalnya, ketika sedang bersama, mereka sebahagia itu. Walaupun hubungannya terkesan masih sebentar. Tapi, pertengahan Mei hubungannya itu tepat 1 tahun. Ia tidak menyangka satu pesan yang  dipacu dengan emosi sesaat itu bisa merusak segalanya. Dika kebingungan setengah mati, ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Tiba pada suatu malam, ia merebahkan badannya di kasur, bengong menatap atap-atap langit, handphone yang dulu diisi oleh pesan dari Windzae kini sepi. Tidak ada satupun notifikasi terkecuali dari Shopee. Hari yang aneh. Kemudian ia terbangun membuka laptopnya untuk mengerjakan skripsi. Membuka spotify dan mengambil earphone agar tidak terdistraksi oleh apapun. Namun, nahas ia tidak bisa fokus. Bayangan gadis itu selalu berputar dalam pikirannya. Gadis yang dulu selalu tersenyum mendengar ceritanya, gadis yang selalu berbagi tawa, gadis yang selalu membuatnya semangat menjalani hari. Setiap sudut kamarnya itu menjelma sosok gadis lembut dan periang itu. Setiap lagu yang terputar itu selalu mengingatkan kenangan saat bersamanya. Alhasil layar laptopnya dibiarkan begitu saja tanpa menulis sepatah kata apapun.

Sekarang Dika lebih sering membuka Tiktok, Instagram yang mana kini Whatsappnya sekarang seakan menjadi pajangan saja. Ketika sedang membuka tiktok, tiba-tiba lewat sebuah video yang menunjukkan sebuah jalan di Kota Bandung sehabis hujan. Terlintas di kepalanya ingin ke sana. Dika teringat bahwasanya ia punya seorang kawan yang tinggal di sana. Bukan asli Bandung, namun, temannya itu sudah lama tinggal di Bandung. Dika membuka Whatsappnya dan mencari nama temannya itu.

"Eh, lu masih di Bandung?" Tanya Dika

"Masihlah, bentar lagi gua balik, kenapa lu mau main?" Balas Tyo 

"Iya nih, gua rencana tanggal 6-7 lah kesana, gimana lu ada ga?" 

"Ada terus gua. Lu naik apa kesini?"

"Naik kereta aja, gua beli tiket yang berangkat sore dan sampai jam 9 malem, nanti lu jemput gua di stasiun yaa."

"Oke siapp, emang rencana mau kemana?"

"Pas gua sampe mah kita ngopi aja di Braga, terus paginya kita ke Ciwidey, Sunan Ibu".

"Gassss"

Rencana Dika seakan didukung semesta, Temannya Tyo bersedia untuk menemaninya berkeliling Bandung. Dika menanyakan kepada Tyo tentang kost-annya. Jika tersedia kan lumayan menghemat biaya. Namun, Tyo ngekost berdua bareng temannya dan di tanggal yang sama ada dua temannya teman kost Tyo itu menginap. Jadi, kamar kostnya itu penuh jika ditambah dua orang lagi. Akhirnya Dika memesan sebuah hotel di daerah Pasar Baru dekat dengan Braga, agar supaya pulang dari Braga larut malam pun tidak masalah dan Tyo menemani Dika di Hotel. 

Tanpa mempersiapkan apapun, tibalah pada saat yang di nanti. Dika berangkat dari Terminal Kalideres menggunakan Bus Transjakarta untuk menuju Stasiun Pasar Senen. Kereta Dika berangkat dari Stasiun Pasar Senen pukul 17.40 petang dan tiba di Stasiun Bandung pukul 21.05 malam. Di kereta, Dika sudah terbayang keindahan Kawah Putih di sana, karena bagi kebanyakan orang itu Kawah terindah di Bandung. Dika sengaja mengambil weekdays agar tempat itu sepi dan syahdu karena tidak terlalu banyak pengunjung. Pasalnya, setiap weekend tempat itu selalu ramai pengunjung dan untuk berfoto saja di plakat Puncak Sunan Ibu yang view nya langsung Kawah Putih itu harus antri terlebih dahulu. Bagi Dika, itu sangat mengurangi keestetikan dari sebuah tempat. Melankolis itu memang butuh ketenangan bukan keramaian yang sangat mengganggu itu.

Sesampainya ia di Bandung, Dika membuka ponselnya mengabari Tyo yang sudah standbye di depan stasiun. 

"Dikaaaa". Tyo memanggil dari kejauhan

Dika menuju sumber suara dan melambaikan tangan ke arah Tyo. Sebelum ke Braga mereka memutuskan untuk makan terlebih dahulu, karena perjalanan itu membuat perut Dika keroncongan. Di dekat pintu keluar stasiun pandangan Dika tertuju ke arah tukang sate yang sedang mengipasi satenya. Asapnya berhasil membuat hidungnya mengirim sinyal ke otak untuk memakan sate. Dipesannya dua bungkus lalu dimakan. Dika dan Tyo sembari berbincang hal-hal tentang kesibukan mereka sekarang yang mana mereka sama-sama disibukkan oleh tugas akhirnya yaitu skripsi. Perbincangan mereka tiba pada alasan Dika ingin ke Bandung. Ya, tidak lain tidak bukan yaitu karena hubungan dengan sang gadis berakhir. Namun, Dika enggan menceritakannya, karena ia kesini hanya ingin ketenangan. Setelah selesai menghabiskan sate, Tyo mengajak Dika ke Kafe favoritnya di Braga. Kafe klasik yang berada sedikit jauh dari keramaian dan menurut Tyo kopinya enak. Dika memesan kopi V60 untuk menambah variasi pahit lainnya setelah pahitnya percintaannya. Tyo yang tidak suka kopi itu memesan matcha latte.

"Rumput kok diminum". Ujar Dika meledek

 "Wkwkwk, mana ada rumput". Balas Tyo membela

Dika dan Tyo bernostalgia masa-masa ketika ia bareng waktu SMA dulu. Betapa seringnya Tyo meledek Dika karena terlampau bucin bahkan kebucinannya melekat utuh sampe sekarang dibanding mata pelajarannya. Lagi asik bercerita, handphone Dika bergetar dari atas meja. Nama Ardi terpampang di handphonenya yang tumben ia menelepon. 

"Woi, Dik. Lu lagi di Bandung?". Tanya Ardi di telepon

"Iyanih, wkwkw. Kenapa, Bang, tumben nelpon". Jawab Dika

"Lahhh lu bukannya besok ada UTS satu matkul". 

"Mampusss iya lagi, astaga lupa bangettt gua Bang. Anjir gua udah beli tiket selasa malem lagi baliknya". 

"Udah coba lu reschedule biasanya sepi, tapi seterahlu sih gua mah ngingetin doang wkwkw".

"Oke, Bang. Makasih, ya."

"Sippp, have fun, ya". Tutup Ardi

Makkkk jlebbb. Dika kebingungan setengah mati. Kalo pulang dia gaenak sama Tyo, namun, di satu sisi kalo ia tidak pulang, ia harus mengulang. Dika benar-benar lupa bahwasanya ia ada UTS, pasalnya itu matkul mengulang dia waktu semester 4, ia UTS hanya satu matkul itu. Jadi, itu yang menyebabkannya lupa. Walhasil dia bilang ke Tyo, bahwa besok tidak jadi ke Ciwidey, karena ia ada UTS. Syukurnya Tyo mengerti dan mau memahami.

"Emang bisa reschedule?". Tanya Tyo

"Bisa kalo ada bangku kosong". Balas Dika

Seakan semesta merestuinya kembali dia merubah tiket yang semula pukul 11 malam menjadi 1 siang dan itupun hanya tersisa satu bangku. Dika meminta maaf kepada Tyo karena keteledorannya. Tyo tidak mempermasalahkan itu, ia mewajarkan–mungkin karena patah hati Dika tidak bisa berpikir jernih. Perjalanan Dika ke Bandung yang semula untuk mencari ketenangan, kini berubah menjadi menambah masalah. Ia khawatir jika tidak bisa sampai kampusnya sesuai jadwal yaitu pukul 6 sore sampai pukul 8 malam. Kendati demikian Dika tetap bersyukur, baginya Bandung sangat berkesan walaupun sebentar. Terbesit dipikirannya—ia akan kembali bersama seseorang yang terkasih, karena Bandung terlalu romantis untuk orang-orang yang datang hanya karena patah hati. Bagaimana tidak?, di sepanjang trotoar Braga, di jalan Kawasan Asia-Afrika, sepasang kekasih yang bergandeng tangan tidak ada habisnya, dihiasi dengan pocong, kuntilanak, valak dan hantu-hantu lainnya yang meramaikan. Jika, dibuat film mungkin akan bergenre Horror-Romance, karena memang seperti itu gambarannya. Sekitar pukul 1 dinihari Dika dan Tyo beranjak dari keromantisasian Kawasan Asia-Afrika untuk kembali ke Hotelnya. Di Hotel setelah selesai bersih-bersih Dika langsung tertidur pulas karena kelelahan.

Keesokannya sekitar pukul 7 pagi, Tyo mengajak Dika untuk mencari sarapan. Baik Dika dan Tyo bingung ingin makan apa, karena sepanjang perjalanan hanya kupat tahu yang berjejer di sepanjang jalan. Sekalian berkeliling akhirnya Tyo mengajak Dika untuk makan di kantin kampusnya. Dika mengiyakan, di perjalanan Dika tidak banyak bicara, ia kecurian kata. Bandung ternyata sangat ramai. Namun, tidak sebising Jakarta. Ia terheran di jalanan yang macetpun tidak terdengar bising klakson dari pengendara sepeda motor maupun mobil. Di lampu merah yang baru berganti hijau pun demikian. Seberes sarapan yang kesiangan itu, Tyo langsung mengantarkan Dika ke stasiun. Sesampainya di stasiun Tyo pamit, Dika mengucapkan terimakasih dan meminta maaf karena rencananya ke Ciwidey harus gagal dikarenakan kebodohannya itu. 

Kereta Dika tiba tepat waktu, berharap sampai kampus dan mengerjakan ujiannya juga akan tepat waktu.  Di kereta Dika tidak bisa berhenti memikirkan apa ia akan sampai tepat waktu nanti. Jika tidak tepat waktu dia benar-benar akan menjadi orang yang menyesal di dunia. Keputusannya untuk membatalkan niatnya ke Sunan Ibu, ditambah jika dia tidak tepat waktu dan tidak bisa ikut mengerjakan UTS. Pikirannya benar-benar kacau tidak karuan. Dia mengambil earphone dari tasnya, diputarnya lagu yang membuat pikirannya tenang sambil membaca kisi-kisi soal yang dibagikan temannya di grup matkulnya. Hingga matanya lelah karena lama membaca. Ditaruhnya hanphone di saku kemejanya, merebahkan badannya pada kursi yang berlawanan dari arah lajunya kereta, pelan-pelan Dika tertidur. Ketika ia terbangun keretanya tiba pada stasiun akhir yaitu Pasar Senen, Dika bersiap, mengecek setiap barang bawaannya, memastikan agar tidak ada yang tertinggal.      

"Selamat sore kepada seluruh penumpang kereta api Cikuray. Perjalanan Anda telah tiba di stasiun Pasar Senen. Sebelum turun, periksa dan teliti kembali barang bawaan Anda. Jangan sampai ada yang tertinggal atau tertukar di dalam kereta. Pintu keluar berada di sebelah kiri arah kedatangan kereta api atau sebelah timur. Atas nama PT Kereta Api Indonesia (Persero), kami mengucapkan terima kasih atas kepercayaan Anda telah menggunakan jasa layanan kereta api. Sampai jumpa pada perjalanan berikutnya." 
Suara yang terdengar dari pramugari kereta api itu membawa Dika berjalan cepat menuju pintu keluar stasiun dan melanjutkan ke Halte Bus Transjakarta. Dika menunggu Busway yang menuju langsung ke Terminal Kalideres karena ia menaruh sepeda motornya di sana. Jam di tangan sudah menunjukkan pukul 4 sore yang mana 2 jam lagi ujiannya itu akan dimulai. Busway yang ditunggu tiba, menurut perhitungannya Busway itu akan tiba di Terminal Kalideres pada pukul 6 petang dan Dika akan tiba pada kampusnya pukul 6.30 petang. Namun, perhitungannya itu tidak berjalan sesuai keinginannya. Jalanan Jakarta sangat padat sekali, jalur khusus Bus Transjakarta pun di ramaikan oleh para pengendara yang tidak taat aturan. Dika tidak bisa berbuat banyak, ia hanya mampu bergumam dalam hati.

"Sialan, ngapain sih orang-orang itu, udah tau jalanan busway". Gerutu Dika dalam hati.

Busway yang harusnya sampai pada pukul 6 petang itu, tiba pada pukul 7 malam. Dika tidak banyak menunda ia langsung berlari menuju tempat ia memparkirkan sepeda motornya. Ia panaskan sejenak dan langsung tancap gas menuju kampusnya. Tanpa rem dan terus fokus ke depan Dika melaju dengan kecepatan penuh. Karena ia akan merugi jika tidak mengikuti ujian tersebut. Dika tiba di kampus pada pukul 7.30 malam, menyisakan 30 menit terakhir untuk ujian pertama matkulnya. Setibanya di kampus Dika langsung berlari menuju tempat ujian. Dika benar-benar seperti tidak niat ujian, ia tidak mengenakan almameternya dan tidak membawa kertas ujian yang mana itu merupakan syarat untuk mengikuti ujian. Lagi dan lagi semesta selalu berpihak pada Dika, pengawas yang mengawasi ujian itu adalah dosen yang ia kenal dengan dekat dan sangat baik. Setelah menjelaskan apa yang terjadi, akhirnya Dika diperbolehkan ujian.

Dari perjalanan yang semula untuk mencari ketenangan, benar-benar berubah menjadi menambah masalah. Tapi, Dika sangat mengambil pelajaran dari perjalanannya ini, karena serumit apapun masalahnya ia bisa selesaikan dengan baik. Dika bisa memilah mana yang lebih penting untuknya.  Dika menjadi pribadi yang lebih tenang dalam memikirkan dan bertindak akan sesuatu. Dika yang terjebak dalam kebisingan emosional setelah hubungannya kandas dengan Windzae. Dia ingin melakukan revolusi diri untuk menemukan ketenangan dan kebahagiaan dalam hidupnya. Dalam perjalanannya ia menemukan momen refleksi saat berada di posisi sulit. Dika menemukan kembali dirinya, ia melepaskan beban emosional yang membelenggu hatinya. Ia mulai menggambar, mengekspresikan perasaannya melalui seni dan berharap menemukan kedamaian dalam setiap goresannya. Selain menggambar, Dika juga menulis, baginya menulis memberinya ruang untuk berkreasi dan berkomunikasi dengan dirinya sendiri. 

Dengan tekad baru, Dika kembali menjalani hari dengan penuh semangat dan ketenangan. Dika berkomitmen untuk terus menjalin komunikasi yang baik dengan dirinya sendiri dan mengembangkan hubungan yang sehat dengan orang-orang di sekitarnya. Dika berharap revolusi diri ini akan membawanya pada kehidupan yang lebih berarti, di mana ia bisa merasa bahagia utuh tanpa terkekang oleh apapun.

Bersambung,....      

Komentar

Postingan Populer