Rumah
Kala itu kita sedang bertengkar hebat. Seseorang dengan kuda putihnya membawamu pergi meninggalkanku sendiri di ujung bumi. Bak seorang pahlawan, kau sangat berterimakasih karena diselamatkan. Sedang aku, terpaku seolah tidak percaya bahwa kau benar-benar pergi. Segala hal tentangmu, terus berputar tiada henti dalam pikiran.
Dikejauhan, ada seseorang yang melambai kearahku, seolah memberi tahu bahwa akan ada sinar setelah temaram. Jika kau dibawa oleh seorang pangeran dengan kuda putihnya. Maka aku yakin yang menolongku adalah malaikat yang tak bersayap. Semua terlihat baik-baik saja, bahkan pangeran itu selalu kau kicaukan di 'instastory'. Aku yang pura-pura kuat ini hanya bisa tersenyum sendu melihat kau bahagia.
Tanpa kita sadar terus membohongi perasaan adalah hal yang menyakiti diri sendiri secara perlahan. Sampai akhirnya kita lelah dengan kebohongan itu. Dimana kita berpura-pura untuk baik-baik saja, pura-pura tidak perduli satu sama lain dan berpura-pura bahagia. Kita sadar, bahwa kita tidak bisa berpura-pura di semesta yang nyata ini. Entah kebetulan atau takdir, semesta mempertemukan kita kembali dengan perasaan yang sama.
Di persimpangan jalan, kau dan aku berlari lalu berpelukan, berhadapan bersedu sedan. Pelukan yang sudah lama tidak aku rasakan. Sungguh menghangatkan.
Lalu, kita menyadari bahwa;
Seseorang akan pergi dan kepadanya (rumah) ia akan kembali. Kita mungkin sudah berada di tempat pulang yang sama. Karena sampai saat ini, sejauh apapun seseorang menjemput kita kala dipersimpangan jalan. Kita selalu pulang ditempat yang sama. Tempat pulang yang sangat nyaman, tempat untuk memulangkan lelah, tempat untuk bercerita tentang banyak hal dan banyak lagi. Karena sejauh apapun kau dan aku, hati kita selalu berada di tempat yang sama.
Komentar
Posting Komentar